Mengaitkan Standar Praktek dengan
Aspek Hukum dalam Praktek Kebidanan
DISUSUN OLEH:
Kelas : 1A
Nama : Dwi Nugraheni
STIKES
MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM
STUDI DIII KEBIDANAN
2013
2013
Hubungan
Standar Praktek Kebidanan (SPK) Dengan Hukum / Perundang- Undangan
·
ASUHAN PADA BAYI BARU LAHIR
Kompetensi ke-6 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan.
Kompetensi ke-6 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan.
·
ASUHAN PADA BAYI DAN BALITA
Kompetensi ke-7 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi dan balita sehat (1 bulan – 5 tahun).
Kompetensi ke-7 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi dan balita sehat (1 bulan – 5 tahun).
·
KEBIDANAN KOMUNITAS
Kompetensi ke-8 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi dan komperhensif pada keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai dengan budaya setempat.
Kompetensi ke-8 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi dan komperhensif pada keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai dengan budaya setempat.
·
ASUHAN PADA IBU/WANITA DENGAN GANGGUAN REPRODUKSI
Kompetensi ke-9 : Melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ibu dengan gangguan sistem reproduksi.
Kompetensi ke-9 : Melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ibu dengan gangguan sistem reproduksi.
UU KESEHATAN NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS DAN TANGUNG JAWAB TENAGA KESEHATAN
PASAL 4-8 N0
36/2009
HAK SETIAP ORANG :
• Kesehatan
• Akses atas sumber daya
• Pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau
• Menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan
• Lingkungan yang sehat
• Informasi dan edukasi kesehatan yang seimbang & bertanggung jawab.
• Informasi tentang data kesehatan dirinya
HAK SETIAP ORANG :
• Kesehatan
• Akses atas sumber daya
• Pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau
• Menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan
• Lingkungan yang sehat
• Informasi dan edukasi kesehatan yang seimbang & bertanggung jawab.
• Informasi tentang data kesehatan dirinya
PASAL 9-13 NO
36/2009
KEWAJIBAN SETIAP ORANG :
• Ikut mewujudkan kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
• Menghormati hak orang lain
• Berperilaku hidup sehat
• Menjaga kesehatan orang lain yang menjadi tanggungjawabnya
• Ikut jaminan kesehatan
KEWAJIBAN SETIAP ORANG :
• Ikut mewujudkan kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
• Menghormati hak orang lain
• Berperilaku hidup sehat
• Menjaga kesehatan orang lain yang menjadi tanggungjawabnya
• Ikut jaminan kesehatan
PASAL 21-29 NO
36/2009
TENAGA KESEHATAN :
• Harus memiliki kualifikasi umum.
• Harus memiliki kewenangan yang sesuai dengan keahlian, memiliki izin
• Harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, SOP
• Pemerintah mengatur penempatan untuk pemerataan
• Untuk kepentingan hukum ; wajib periksa kesehatan dengan biaya ditanggung negara
• Dalam hal diduga kelalaian, selesaikan dengan mediasi terlebih dahulu
TENAGA KESEHATAN :
• Harus memiliki kualifikasi umum.
• Harus memiliki kewenangan yang sesuai dengan keahlian, memiliki izin
• Harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, SOP
• Pemerintah mengatur penempatan untuk pemerataan
• Untuk kepentingan hukum ; wajib periksa kesehatan dengan biaya ditanggung negara
• Dalam hal diduga kelalaian, selesaikan dengan mediasi terlebih dahulu
PASAL 30-35 NO
36/2009
PASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
• Harus memenuhi persyaratan dan perizinan
• Dalam menghadapi pasien darurat, wajib selamatkan nyawa dan cegah cacat, dilarang menolak pasien atau meminta uang muka lebih dahulu
• Pimpinan harus memiliki kompetensi
• Pemda menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan dan berikan izin
• Diatur dengan PP
PASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
• Harus memenuhi persyaratan dan perizinan
• Dalam menghadapi pasien darurat, wajib selamatkan nyawa dan cegah cacat, dilarang menolak pasien atau meminta uang muka lebih dahulu
• Pimpinan harus memiliki kompetensi
• Pemda menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan dan berikan izin
• Diatur dengan PP
PASAL 58 UU NO
36/2009
GANTI RUGI AKIBAT KESALAHAN :
1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan yang diterimanya.
2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
GANTI RUGI AKIBAT KESALAHAN :
1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan yang diterimanya.
2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
PASAL 64 UU NO
36/2009
UPAYA PEMULIHAN TERTENTU :
1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui tranplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta sel punca
2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan
3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
UPAYA PEMULIHAN TERTENTU :
1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui tranplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta sel punca
2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan
3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
PASAL 66 UU NO
36/2009
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.
PASAL 69 UU NO
36/2009
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas
PASAL 70 UU N0 36/2009
(1) Pengguna sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik
(1) Pengguna sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik
PASAL 72 UU NO
36/2009
REPRODUKSI :
Setiap orang berhak :
• Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah
• Menetukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia dengan norma agama
• Menetukan sendiri kapan dan berapa sering ingin reproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama
• Memperoleh informasi, edukasi, ….dst
PASAL 72 UU NO 36/2009
ABORSI :
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2) Larangan yang dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan :
• Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik serta dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan, atau…
• Kehamilan akibat perkosaan yg dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan
3) Tindakan sebagimana yang dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang
REPRODUKSI :
Setiap orang berhak :
• Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah
• Menetukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia dengan norma agama
• Menetukan sendiri kapan dan berapa sering ingin reproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama
• Memperoleh informasi, edukasi, ….dst
PASAL 72 UU NO 36/2009
ABORSI :
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2) Larangan yang dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan :
• Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik serta dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan, atau…
• Kehamilan akibat perkosaan yg dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan
3) Tindakan sebagimana yang dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang
PASAL 82 UU NO
36/2009
BENCANA :
1) Pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.
2) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan pasca bencana.
3) Pelayanan kesehatan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut
4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaiman dimaksud pada ayat 1
BENCANA :
1) Pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.
2) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan pasca bencana.
3) Pelayanan kesehatan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut
4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaiman dimaksud pada ayat 1
PASAL 83 UU N0
36/2009
1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut dan kepentingan terbaik bagi pasien.
2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaikan dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut dan kepentingan terbaik bagi pasien.
2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaikan dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
PASAL 85 UU NO
36/2009
DARURAT PADA BENCANA
1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan , baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.
DARURAT PADA BENCANA
1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan , baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.
PASAL 90 UU NO
36/2009
PELAYANAN DARAH
1) Pemerintah bertanggun jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelanggaraan pelayanan darah.
3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun
PELAYANAN DARAH
1) Pemerintah bertanggun jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelanggaraan pelayanan darah.
3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun
PASAL 115 UU N0
36/2009
KAWASAN TANPA ROKOK (KTR)
- Anatar lain :
• Fasilitas pelayanan kesehatan
• Tempat proses belajar mengajar
• Tempat anak bermain
• Tempat ibadah
• Angkutan umum
• Tempat kerja, dan
• Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan
- Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya
KAWASAN TANPA ROKOK (KTR)
- Anatar lain :
• Fasilitas pelayanan kesehatan
• Tempat proses belajar mengajar
• Tempat anak bermain
• Tempat ibadah
• Angkutan umum
• Tempat kerja, dan
• Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan
- Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya
PASAL 117 UU N0
36/2009
DEFENISI MATI :
- Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung-sirulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan
DEFENISI MATI :
- Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung-sirulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan
PASAL 118 UU NO
36/2009
IDENTIFIKASI
- Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi.
- Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung-jawab atas upaya identifikasi sebagaiman dimasud pd ayat (1)
IDENTIFIKASI
- Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi.
- Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung-jawab atas upaya identifikasi sebagaiman dimasud pd ayat (1)
PASAL 122 UU NO
36/2009
BEDAH MAYAT FORENSIK
1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Bedah mayat forensik sebagaiman diamksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkingkan
PASAL 125 UU NO 36/2009
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD
BEDAH MAYAT FORENSIK
1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Bedah mayat forensik sebagaiman diamksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkingkan
PASAL 125 UU NO 36/2009
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD
PASAL 127 UU NO
36/2009
KEHAMILAN CARA NON ALAMI
Upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
• Hasil pembuahan sperma dan ovun dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovun berasal
• Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan
• Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu
KEHAMILAN CARA NON ALAMI
Upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
• Hasil pembuahan sperma dan ovun dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovun berasal
• Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan
• Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu
PASAL 128 UU NO
36/2009
ASI EKSKLUSIF :
1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
2) Selama pemberian Air Susu Ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus
3) Penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di-adakan ditempat kerja dan tempat sarana umum
ASI EKSKLUSIF :
1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
2) Selama pemberian Air Susu Ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus
3) Penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di-adakan ditempat kerja dan tempat sarana umum
PASAL 148 UU N0
36/2009
KESEHATAN JIWA
• Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara
• Hak sebagaiman dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain
KESEHATAN JIWA
• Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara
• Hak sebagaiman dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain
PASAL 149 UU N0
36/2009
1) Penderita gangguan jiwa yg terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
2) Pemerintah, pemerintah daerah, & masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.
3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat
4) Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sebagaiman dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
1) Penderita gangguan jiwa yg terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
2) Pemerintah, pemerintah daerah, & masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.
3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat
4) Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sebagaiman dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
PASAL 150 UU NO
36/2009
1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakkan hukum (visum et refertum psiciatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan
2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.
1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakkan hukum (visum et refertum psiciatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan
2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.
PASAL 171 UU NO
36/2009
ANGGARAN :
1) Besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) diluar gaji.
2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kotadalokasikan minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) diluar gaji
3) Bersaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (duapertiga) dari anggaran kesehatan dalam APBN dan APBD
ANGGARAN :
1) Besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) diluar gaji.
2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kotadalokasikan minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) diluar gaji
3) Bersaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (duapertiga) dari anggaran kesehatan dalam APBN dan APBD
PERATURAN
PELAKSANAAN
• 2 UU
• 20 PERATURAN PEMERINTAH
• 2 PERATURAN PRESIDEN
• 18 PERATURAN MENKES
• 2 UU
• 20 PERATURAN PEMERINTAH
• 2 PERATURAN PRESIDEN
• 18 PERATURAN MENKES
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1996
TENTANG
TENAGA KESEHATAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
|
:
|
Bahwa
sebagai
pelaksanaan
ketentuan
Undang-Undang
Nomor 23
Tahun 1992
tentang Kesehatan,
dipandang perlu
menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Tenaga
Kesehatan;
|
||
Mengingat
|
:
|
1.
|
Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
|
|
|
2.
|
Undang-Undang
Nomor 23
Tahun 1992 tentang
Kesehatan
(Lembaran Negara
Tanun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor
3495);
|
||
M E
M U
T U S K A N :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TENAGA KESEHATAN.
B A B I KETENTUAN
UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud
dengan :
1. Tenaga
Kesehatan adalah setiap orang
yanlg mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan;
2. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan;
3. Upaya kesehatan adalah
setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat;
4. Menteri adalah Menteri
yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
BAB II
JENIS TENAGA
KESEHATAN Pasal 2
(1)
Tenaga
kesehatan terdiri dari :
a. tenaga medis;
b. tenaga keperawatan;
c. tenaga kefarmasian;
d. tenaga kesehatan masyarakat;
e. tenaga gizi;
f. tenaga keterapian fisik;
g. tenaga keteknisian medis.
(2)
Tenaga
medis meliputi dokter dan dokter gigi.
(3)
Tenaga
keperawatan meliputi perawat
dan bidan.
(4)
Tenaga
kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
(5) Tenaga kesehatan masyarakat
meliputi epidemiolog
kesehatan, entomolog kesehatan,
mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
(6)
Tenaga
gizi meliputi nutrisionis dan
dietisien.
(7)
Tenaga
keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
(8) Tenaga keteknisian medis
meliputi radiografer,
radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.
B A B III
PERSYARATAN
Pasal 3
Tenaga kesehatan
wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan
yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.
Pasal 4
(1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan
upaya kesehatan setelah
tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
(2) Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga kesehatan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur oleh Menteri.
Pasal 5
(1) Selain ijin
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1),
tenaga medis dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri
hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah
yang bersangkutan melakukan
adaptasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur oleh Menteri.
BAB IV
PERENCANAAN, PENGADAAN DAN PENEMPATAN Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 6
(1) Pengadaan
dan penempatan tenaga
kesehatan dilaksanakan untuk
memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan
yang merata bagi seluruh
masyarakat
(2) Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan
sesuai
dengan
perencanaan nasional tenaga kesehatan.
(3) Perencanaan nasional tenaga kesehatan
disusun dengan memperhatikan faktor :
a.
jenis pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan oleh masyarakat;
b.
sarana kesehatan;
c. jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.
(4)
Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2)
dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Bagian
Kedua
Pengadaan
Pasal 7
Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui
pendidikan dan pelatihan di bidang
kesehatan.
Pasal 8
(1) Pendidikan di bidang kesehatan
dilaksanakan
di
lembaga
pendidikan
yang
diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat.
(2) Penyelenggaraan pendidikan di bidang
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan ijin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
Pasal 9
(1) Pelatihan
dibidang kesehatan
diarahkan untuk meningkatkan keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.
(2) Pelatihan
di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Pasal 10
(1) Setiap tenaga
kesehatan memiliki
kesempatan yang
sama
untuk mengikuti pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
(2) Penyelenggara dan/atau pimpinan
sarana kesehatan bertanggung jawab
atas
pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau bekerja pada
sarana
kesehatan yang
bersangkutan untuk
meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan di bidang kesehatan.
Pasal 11
(1) Pelatihan
di bidang kesehatan dilaksanakan di balai pelatihan tenaga kesehatan atau tempat pelatihan lainnya.
(2) Pelatihan
di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
Pasal 12
(1) Pelatihan
di
bidang
kesehatan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah
dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelatihan di
bidang
kesehatan yang
diselenggarakan oleh
masyarakat dilaksanakan atas dasar ijin Menteri
(3)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai perijinan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur oleh Menteri.
Pasal 13
(1) Pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya :
a.
calon
peserta pelatihan;
b.
tenaga
kepelatihan;
c.
kurikulum;
d. sumber
dana
yang
tetap
untuk
menjamin
kelangsungan penyelenggaraan pelatihan;
e.
sarana
dan prasarana.
(2) Kelentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 14
(1) Menteri
dapat menghentikan pelatihan
apabila pelaksanaan pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata :
a.tidak sesuai
dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1);
b. tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
(2) Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud
dimaksud dalam ayat 1 dapat mengakibatkan dicabutnya ijin pelatihan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin pelatihan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur oleh Menteri.
Bagian
Ketiga
Penempatan
Pasal 15
(1) Dalam rangka pemerataan pelayanan
kesehatan
bagi
seluruh
masyarakat,
Pemerintah dapat mewajibkan tenaga kesehatan
untuk ditempatkan pada sarana
kesehatan tertentu untuk jangka
waktu
tertentu.
(2) Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan dengan cara masa bakti.
(3) Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
Penempatan tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2).
dilaksanakan
oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri.
Pasal 17
Penempatan
tenaga
kesehatan dengan
cara masa
bakti dilaksanakan dengan
memperhatikan :
a.
kondisi wilayah
dimana tenaga kesehatan
yang bersangkutan ditempatkan;
b.
lamanya
penempatan;
c.
jenis
pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
d.
prioritas
sarana kesehatan.
Pasal 18
(1) Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan pada :
a.
sarana
kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah;
b.
sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ditunjuk oleh
Pemerintah;
c.
lingkungan perguruan
tinggi sebagai staf pengajar;
d.
lingkungan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia
(2) Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan instansi terkait.
Pasal 19
(1) Tenaga
kesehatan yang
telah
melaksanakan masa bakti
diberikan surat keterangan dari Menteri
(2) Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan
persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk
memperoleh ijin menyelenggarakan upaya
kesehatan pada sarana kesehatan
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
pemberian surat
keterangan
sebagaimana
dimaksud dalam ayal (1) diatur oleh Menteri
Pasal 20
Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan
dapat berupa :
a.
pegawai negeri;
atau b. pegawai tidak tetap.
B A B V
STANDAR
PROFESI DAN PERLINDUNGAN
HUKUM Bagian Kesatu
Standar
Profesi
Pasal 21
(1) Setiap tenaga
kesehatan dalam
melakukan tugasnya
berkewajiban untuk mematuhi standar
profesi tenaga kesehatan.
(2)
Standar profesi tenaga
kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam
ayat
(1)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 22
(1) Bagi tenaga kesehatan jenis
tertentu dalam melaksanakan
tugas profesinya berkewajiban untuk :
a.
menghormati
hak pasien;
b.
menjaga
kerahasiaan identitas dan data kesehatan
pribadi pasien;
c. memberikan infomasi
yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan;
d meminta persetujuan terhadap tindakan
yang akan dilakukan;
e.
membuat
dan memelihara rekam medis. ,
(2) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 23
(1) Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat, atau kematian yang
terjadi karena kesalahan atau kelalaian.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian
Kedua
Perlindungan Hukum
Pasal 24
(1)
Perlindungan hukum
diberikan kepada
tenaga
kesehatan yang
melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi
tenaga kesehatan.
(2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
B A B VI PENGHARGAAN
Pasal 25
(1) Kepada tenaga kesehatan yang bertugas pada sarana
kesehatan
atas
dasar
prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada Negara atau meninggal dunia
dalam melaksanakan tugas diberikan penghargaan
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diberikan oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat.
(3) Bentuk penghargaan dapat berupa
kenaikan
pangkat, tanda jasa, uang atau bentuk lain.
BAB VII IKATAN PROFESI
Pasal 26
(1) Tenaga kesehatan
dapat
membentuk
ikatan
profesi
sebagai
wadah
untuk
rneningkatkan dan/atau rnengembangkan pengetahuan dan
keterampilan, martabat dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
(2) Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
TENAGA
KESEHATAN WARGA NEGARA ASING Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan
warga negara asing hanya dapat melakukan
upaya kesehatan atas dasar ijin dari Menteri.
(2) Ketentuan
lebih lanjut rnengenai
perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang
tenaga kerja asing.
B A B IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu Pembinaan
Pasal 28
(1) Pembinaan
tenaga kesehatan diarahkan untuk
meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui pembinaan karier, disiplin
dan teknis profesi
tenaga kesehatan.
Pasal 29
(1) Pembinaan karier tenaga
kesehatan
meliputi
kenaikan
pangkat, jabatan dan pemberian penghargaan.
(2) Pembinaan karier tenaga
kesehatan
sebagaimana
dimaksud
dalam
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 30
(1) Pembinaan disiplin tenaga
kesehatan menjadi tanggung jawab
penyelenggara
dan/atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.
(2) Pembinaan disiplin tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat
(1)
dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 31
(1) Menteri melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan.
(2) Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagairnana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan rnelalui :
a.
bimbingan;
b.
pelatihan di bidang kesehatan;
c.
penetapan standar profesi tenaga kesehatan.
Bagian
Kedua
Pengawasan
Pasal 32
Menteri
melakukan
pengawasan terhadap tenaga kesehatan dalarn melaksanakan tugas profesinya.
Pasal 33
(1) Dalarn rangka pengawasan, Menteri dapat rnengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai
dengan standar profesi tenaga kesehatan
yang bersangkutan.
(2) Tindakan
disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a.
teguran;
b. pencabutan ijin untuk melakukan
upaya kesehatan.
(3) Pcngambilan tindakan disiplin terhadap
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B A B X KETENTU AN PIDANA
Pasal 34
Barang siapa
dengan sengaja menyelenggarakan
pelatihan di bidang kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 84
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Pasal 35
Berdasarkan ketentuan Pasal
86
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan, barang
siapa
dengan sengaja :
a. melakukan upaya kesehatan
tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1
b. melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
c. melakukan
upaya kesehatan tidak sesuai dengan
standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1);
d. tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
dipidana denda paling banyak
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah).
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah
ini,
maka
semua
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang berhubungan
dengan tenaga kesehatan yang telah ada
masih tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 37
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap
orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan. Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
P E N J E L A S A N ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32
TAHUN 1996
TENTANG TENAGA KESEHATAN
UMUM
Pembangunan kesehatan
sebagai bagian integral dari Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya
kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat
bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal yang
besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia sebagai
modal Pembangunan Nasional.
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
masyarakat dengan menanamkan
kebiasaan hidup sehat.
Untuk rnewujudkan hal tersebut di atas diselenggarakan berbagai upaya kesehatan yang didukung antara lain oleh sumber daya tenaga kesehatan
yang memadai sesuai dengan yang
dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan. Oleh karena itu pola pengembangan sumber daya tenaga
kesehatan perlu disusun
secara cermat yang meliputi perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan yang berskala nasional.
Perencanaan kebutuhan
tenaga kesehatan secara nasional disesuaikan
dengan masalah kesehatan, kemampuan
daya serap dan kebutuhan pengembangan
program pembangunan kesehatan. Pengadaan tenaga kesehatan sesuai dengan perencanaan kebutuhan tersebut
diselenggarakan rnelalui pendidikan dan pelatihan baik oleh Pemerintah dan/atau oleh masyarakat termasuk
swasta sedangkan pendayagunaannya
diselenggarakan secara efektif dan merata.
Dalam rangka penempatan
terhadap jenis tenaga kesehatan
tertentu ditetapkan kebijaksanaan
melalui pelaksanaan masa bakti
terutama bagi tenaga kesehatan yang
sangat potensial di dalam kebutuhan
penyelenggaraan upaya kesehatan.
Disamping itu
tenaga kesehatan tertentu
yang bertugas sebagai pelaksana
atau pemberi pelayanan kesehatan
diberi wewenang sesuai dengan kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga
terkait erat dengan
hak dan kewajibarmya. Kompetensi dan kewenangan tersebut menunjukan kemampuan profesional yang baku dan merupakan standar profesi untuk tenaga
kesehatan tersebut. Tenaga kesehatan yang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesinya
akan mendapatkan
perlindungan hukum. Terhadap jenis
tenaga
kesehatan tersebut di
dalam melaksanakan tugas profesinya tetap diperlukan ijin.
Tenaga kesehatan
sebagai pendukung upaya kesehatan
dalam menjalankan tugasnya harus selalu dibina dan diawasi.
Pembinaan dilakukan untuk
mempertahankan dan meningkatkan
kemampuannya, sehingga selalu tanggap terhadap
permasalahan kesehatan yang menjadi tanggung
jawabnya. Sedangkan pengawasan dilakukan terhadap kegiatannya agar tenaga
kesehatan tersebut dapat
melaksanakan tugasnya sesuai dengan kcbijaksanaan peraturan perundang-undangan dan sistem yang telah
ditetapkan. Setiap penyimpangan pelaksanaan tugas oleh tenaga kesehatan mengakibatkan
konsekuensi dalam bentuk sanksi.
Peraturan
Ketenagakerjaan
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN
I
|
PERENCANAAN
TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN
|
|
1
|
||
|
||
II
|
PELATIHAN
KERJA
|
|
1
|
PP No 23 Tahun 2004 - Badan
Nasional Sertifikasi Profesi
|
|
2
|
Perpres No 50 Tahun 2005 tentang
Lembaga Produktivitas Nasional
[ Pelaksanaan Psl 30 (3) UU No 13 Tahun 2003 ] |
|
|
||
III
|
PENEMPATAN
TENAGA KERJA
|
|
1
|
||
|
||
IV
|
PERLUASAN
KESEMPATAN KERJA
|
|
|
||
V
|
PENGGUNAAN
TENAGA KERJA ASING
|
|
1
|
||
2
|
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-172/MEN/2000 tentang
Penunjukan Pejabat Pemberi Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing
Pendatang untuk Pekerjaan yang Bersifat Sementara atau Mendesak
|
|
3
|
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-228/MEN/2003 tentang
Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
|
|
4
|
Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-20/MEN/III/2004 tentang
Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
|
|
|
||
VI
|
HUBUNGAN
KERJA
|
|
|
||
VII
|
PERLINDUNGAN,
PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN
|
|
|
||
VIII
|
HUBUNGAN
INDUSTRIAL
|
|
1
|
PP No 46 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan
Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit
[ Pelaksanaan Psl 107 (4) UU No 13 Tahun 2003 ] |
|
2
|
Keputusan
Menakertrans No:KEP-201/MEN/2001 tentang
Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial
|
|
3
|
Keputusan
Menakertrans No:KEP-48/MEN/MEN/IV/2004 tentang
Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
|
|
|
||
IX
|
PEMUTUSAN
HUBUNGAN KERJA
|
|
1
|
UU No 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
|
|
2
|
PP No 41 Tahun 2004 tentang
Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan
Industrial dan Hakim Ad-Hoc Pada Mahkamah Agung
|
|
PP / UU TENTANG ASPEK HUKUM ABORSI, BAYI TABUNG DAN
ADOPSI
Aborsi
1. KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349
Pasal 229: Barang siapa dengan sengaja mengobati
seorang perempuan atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau
ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak
tiga ribu rupiah.
Pasal 346: Seorang perempuan yang dengan sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama duabelas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya
perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun.
Pasal 348:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan
tersebut, diancam dengan pidana penjara tujuh tahun.
Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan
salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam
pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 535 : Barang siapa secara terang-terangan
mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara
terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangn
atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat,
sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama
tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan
a. Pasal 15 ayat 1 dan 2
1) Dalam keadaan darurat sebagai
upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya dapat dilakukan
tindakan medis tertentu.
2) Tindakan medis tertentu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan
diambilnya tindakan tersebut.
Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serta
berdasarkan pertimbangan tim ahli.
Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau
suami atau keluarganya.
Pada sarana kesehatan tertentu.
Pada penjelasan UU Kesehatan pasal 15 dinyatakan
sebagai berikut:
Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan
dengan alasan apapun dilarang, karena bertentangan dengan norma hukum, norma
agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat
sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat
diambil tindakan medis tertentu.
Butir a: Indikasi medis adalah suatu kondisi yang
benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan
medis tertentu itu ibu hamil dan janinnya terancam bahaya maut.
Butir b:
Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga
yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter
ahli kebidanan dan penyakit kandungan.
Butir c: Hak utama untuk memberikan persetujuan (informed consent) ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya.
Butir d: Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk pemerintah.
Butir c: Hak utama untuk memberikan persetujuan (informed consent) ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya.
Butir d: Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk pemerintah.
Didalam UU Kesehatan ini belum disinggung soal masalah
kehamilan akibat perkosaan, akibat hubungan seks komersial yang menimpa pekerja
seks komersial ataupun kehamilan yang diketahui bahwa janin yang dikandung
tersebut mempunyai cacat bawaan yang berat.
Dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari
pasal ini dijabarkan antara lain mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan
jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk.
b. Pasal 80
Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis
tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah)
3. UU HAM, pasal 53 ayat 1
Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
4. UU Penghapusan KDRT
Pasal 10
mengenai hak-hak korban pada butir (b): Korban berhak mendapatkan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan medis.
Di sini dicoba disimpulkan sesuatu dan mempunyai persepsi dari pernyataan butir-butir pasal UU KDRT sebelumnya yang saling berkaitan:
Di sini dicoba disimpulkan sesuatu dan mempunyai persepsi dari pernyataan butir-butir pasal UU KDRT sebelumnya yang saling berkaitan:
Pasal 2(a): Lingkup rumah tangga ini meliputi: Suami,
isteri, anak.
Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan
dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumahtangganya dengan cara:
Kekerasan fisik
Kekerasan psikis
Kekerasan seksual
Penelantaran rumah tangga
Pasal 8(a): Kekerasan seksual meliputi:
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang
dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau
tujuan tertentu.
Bayi Tabung
Jika benihnya berasal dari Suami Istri.
Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan
proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim
Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus
sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki
hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim
ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir
sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan
tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak
sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan
bekas suami ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH Perdata.
Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain
yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari
pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42
UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata. Dalam hal ini Suami dari Istri
penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes
golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara
kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata
barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata.)
Jika salah satu benihnya berasal dari donor
Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat
dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan
tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung
petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak
yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan
hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan
melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal 250 KUH Perdata.
Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain
yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil
tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
Jika semua benihnya dari donor
Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang
yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim
seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai
status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh
seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka
anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut
tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan
pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur
berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai
anaknya.
Adopsi
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan adopsi
:
1. Pihak yang mengajukan adopsi
Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami
istri diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran
Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/ pengangkatan
anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa
syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan
pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah
kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang
berada dalam asuhan organisasi sosial.
Orang tua tunggal
i. Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi
orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang
terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda).
Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan
wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut
tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya
dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte
Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta)
tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan.
ii.
Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
2. Tata cara mengadopsi
Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur
tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus
terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan
Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis,
dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon
sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
3. Isi permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:
motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan
atau demi masa depan anak tersebut.
penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di
masa yang akan datang.
Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus
membawa dua orang saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut.
Dua orang saksi itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi
pemohon (baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa pemohon akan betul-
betul memelihara anak tersebut dengan baik.
4. Yang dilarang dalam permohonan
Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan
dalam permohonan pengangkatan anak, yaitu:
Menambah permohonan lain selain pengesahan atau
pengangkatan anak.
pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli
waris dari pemohon.
Hal ini disebabkan karena putusan yang dimintakan
kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya
berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon, atau
berisi pengesahan saja.
Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan
permohonan, maka pemohon perlu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik,
termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kemampuan
finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan keyakinan kepada
majelis hakim tentang kemampuan pemohon dan kemungkinan masa depan anak
tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat Kepemilikan Rumah,
deposito dan sebagainya.
5. Pencatatan di kantor Catatan Sipil
Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda
akan menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan
yang Anda peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan
keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak
tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda
sebagai orang tua angkatnya.
6. Akibat
hukum pengangkatan anak
Pengangkatan
anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh
pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak
saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang
tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan
menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau
saudara sedarahnya.
Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
i. Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi
anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang
parental, —Jawa misalnya—, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali
keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain
mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris
dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan
kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam
keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya
dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan
Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
ii. Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa
akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris
mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya
dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H,
Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991)
iii. Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari
pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak
angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat
dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut
maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena
kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.