Minggu, 22 Desember 2013

Konsep Kebidanan Paradigma Sehat


Paradikma sehat
diposting oleh trias-fkm pada 28 September 2012
di
Just Public Health - 0 komentar
Judul diatas merupakan materi presentasi Temu Ilmiah Bulanan Dosen dengan pimpinan FKM Unair tahun 2011 dipaparkan oleh Ayahanda Dr. Rachmat Hargono, dr., MS, MPH. Ketika mendapatkan surat undangan saya sedikit mengernyitkan dahi, apakah benar ini judul yang akan Ayahanda sampaikan ataukah mungkin beliau yang mengkonsep atau menulis surat salah mempersepsikan isi materi yang akan disampaikan. Saya merasa janggal karena Public Health tentulah menggunakan paradigma sehat, atau saya yang masih perlu pencerahan bahwa ada paradigma lain yang digunakan dalam kajian Public Health selain paradigma sehat.

Apa sebenarnya paradigma sehat itu? Berikut ini petikan dari beberapa penjelasan dalam SK Menkes tentang Pencapaian Indonesia Sehat "Berdasarkan pemahaman situasi dan adanya perubahan terhadap konsep sehat –sakit serta makin kayanya khasanah ilmu pengetahuan dan informasi tentang determinan kesehatan yang bersifat multifaktural, telah mendorong pembangunan kesehatan nasional kearah paradigma baru, yaitu pardigma sehat. Paradigma adalah pemikiran dasar sehat, berorientasi pada peningkatan dan perlindungan penduduk sehat dan bukan hanya penyembuhan orang sakit, sehingga kebijakan lebih ditekankan pada upaya promotif dan preventif dengan maksud melindungi dan meningkatkan orang sehat menjadi lebih sehat dan lebih produktif  serta tidak jatuh sakit karena adanya upaya preventif. Sehingga perlu diupayakan semua policy pemerintah  selalu berwawasan kesehatan dengan mottonya menjadi “ Pembangunan Berwawasan Kesehatan”"

Salah seorang alumni telah men-chalenge Ayahanda Dr. Rachmat Hargono tentang fakta bahwa sebagai fakultas kesehatan masyarakat yang mengedepankan paradigma sehat, ternyata skripsi, thesis atau disertasi masih menggunakan "paradigma sakit" dengan menunjukkan "besaran masalah kesehatan" dengan prevalensi, incidence dll. Rekan S.KM kita ini mengusulkan agar penelitian2 mahasiswa diarahkan pula pada Ruh atau Jiwa Paradigma sehat tersebut, sehingga Bab I dalam TA, Skripsi, Thesis atau Disertasi tidak terkesan mengedepankan pentingnya "paradigma sakit"

Menanggapi hal ini, saya mempunyai pandangan yang berbeda terkait dengan penulisan TA, Skripsi, Thesis maupun Disertasi. Dari apa yang saya pahami, secara Epistemologi, Ilmu berawal dari perkembangan atau pembuktian secara ilmiah dari suatu pengetahuan yang sifatnya psikologis subjektif menjadi sesuatu yang hipotesisnya telah teruji kebenarannya sehingga menjadi ilmu yang bersifat objective universal melalui tahapan yang sistematis. Suatu Ilmu selalu berawal dari pemikiran mendasar untuk mencari kebenaran yang hakiki, dimana tidak terdapat keselarasan antara Das Solen (The Ideal World) dengan Das Sein (The Fact). Suatu bentuk TA, Skipsi, Thesis atau Disertasi merupakan tahapan Epistemologi Ilmu dalam pembuktian kesahihan pengetahuan sementara untuk menjadi ilmu yang diterima secara luas sebelum kemudian hari dipatahkan karena adanya kritik yang tidak terjawab dari ilmuitu untuk kemudin diuji kembali...on..and ..on..

Nah, menurut pendapat saya pada Bab awal penulisan penelitian, TA, Skripsi, Thesis atau Disertasi haruslah menuangkan adanya suatu alasan mendasar mengapa penelitian itu perlu dilakukan, utamanya penggambaran ketidaksinkronan antara Das Solen dan Das Sein. Memahaminya mungkin mudah dengan membandingkan fakta bahwa trend, incidence, prevalence yang cenderung meningkat untuk suatu penyakit ketika harapan ideal kita adalah terjadi penurunan atau zero case. Hal ini yang disebut oleh BLACKY sebagai paradigma sakit. Namun paradigma sehat juga bisa diperlakukan serupa yang penting kita harus mempunyai suatu ukuran yang reliable terkait dengan definisi sehat itu sendiri sebagai gambaran Das Solen. Semisal idealnya masyarakat sehat harus melakukan semua 13 pesan dasar gizi seimbang maka itu kita jadikan patokan untuk melihat layak tidak suatu hal itu kita angkat sebagai kajian penelitian. Kalau dari 13 pesan dasar gizi seimbang yang melakukan hanya 70% populasi maka masalah kenapa tidak 100%, atau kenapa pesn ke 13 tidak dijalankan sebagian besar populasi misalnya. Kalau Das Solen dan Das Sein sudah setara, semua orang (100%) sudah menerapkan 13 pesan dasar gizi seimbang maka apakah sumbangan penelitian yang dilakukan untuk membangun ilmu pengetahuan yang baru? Bukankah ada hal yang lebih penting untuk dilakukan? Secara Aksiologis hal ini menurut saya suatu hal yang mubadzir...mungkin benar sebagai kajian dialektika, debat atau pemikiran filsafat, namun tidak untuk ditingkatkan menjadi suatu penelitian.

Intinya, saya setuju dikembangkannya indikator paradigma sehat sebagai ukuran yang jelas untuk kemudian dipakai sebagai dasar pembuatan TA, Skripsi, Thesis atau Disertasi, namun pendekatan untuk mencari kebenaran ilmiah harus tetap menggunakan kaidah Epistemologi Ilmu yang Deducto-Hypotetetico-Verificatio.
  Paradikma sehat pengertianya
Cara pandang atau pola pikir pembangunan kesehatan yang bersifat holistik, proaktif antisipatif, dengan melihat masalah kesehatan sebagai masalah yang dipengaruhi oleh banyak faktor secara dinamis dan lintas sektoral, dalam suatu wilayah yang berorientasi kepada peningkatan pemeliharaan dan

perlindungan terhadap penduduk agar tetap sehat dan bukan hanya penyembuhan penduduk yang sakit. Pada intinya paradigma sehat memberikan perhatian utama terhadap kebijakan yang bersifat pencegahan dan promosi kesehatan, memberikan dukungan dan alokasi sumber daya untuk menjaga agar yang sehat tetap sehat namun tetap mengupayakan yang sakit segera sehat. Pada prinsipnya kebijakan tersebut menekankan pada masyarakat untuk mengutamakan kegiatan kesehatan dari pada mengobati penyakit. Telah dikembangkan pengertian tentang penyakit yang mempunyai konotasi biomedik dan sosio kultural

Dalam bahasa Inggris dikenal kata disease dan illness sedangkan dalam bahasa Indonesia, kedua pengertian itu dinamakan penyakit. Dilihat dari segi sosio kultural terdapat perbedaan besar antara kedua pengertian tersebut. Dengan disease dimaksudkan gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu, dengan illness dimaksud reaksi personal, interpersonal, dan kultural terhadap penyakit atau perasaan kurang nyaman

Para dokter mendiagnosis dan mengobati disease, sedangkan pasien mengalami illness yang dapat disebabkan oleh disease illness tidak selalu disertai kelainan organik maupun fungsional tubuh.
Tulisan ini merupakan tinjauan pustaka yang membahas pengetahuan sehat-sakit pada aspek sosial budaya dan perilaku manusia; serta khusus pada interaksi antara beberapa aspek ini yang mempunyai pengaruh pada kesehatan dan penyakit. Dalam konteks kultural, apa yang disebut sehat dalam suatu kebudayaan belum tentu disebut sehat pula dalam kebudayaan lain. Di sini tidak dapat diabaikan adanya faktor penilaian atau faktor yang erat hubungannya dengan sistem nilai.
Membangun Paradigma, Indonesia Sadar Sehat 2013
“Kesehatan itu adalah mahkota di kepala orang yang sehat, Ia tidak terlihat kecuali oleh orang-orang yang sakit”.-Pepatah Arab-
SEBAGIAN orang terkadang melupakan betapa kesehatan itu sangat penting bagi kehidupan. Sebagian lagi menyadari pentingnya kesehatan tetapi tidak melakukan apa-apa untuk mencapai keadaan sehat tersebut. Hanya sebagian kecil yang menyadari pentingnya kesehatan dan kemudian melakukan usaha-usaha untuk mencapai hidup sehat. Justru kebanyakan orang baru tersadar dan sangat faham tentang pentingnya kesehatan ketika dalam keadaan sakit. Bagaimanapun paradigma yang terjadi di kalangan masyarakat saat ini, kesehatan merupakan hal utama yang perlu diperhatikan oleh seluruh masyarakat Indonesia, apalagi oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan bagi masyarakat.

Kebijakan tentang kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI dan stakeholder seperti BPOM serta kementerian terkait lainnya, harus bersifat pro bagi masyarakat. Artinya, tidak hanya membuat dan menetapkan kebijakan yang dibutuhkan oleh masyarakat, tetapi juga membuat dan menetapkan kebijakan yang dapat mendorong masyarakat untuk menyadari dan memahami akan pentingnya kesehatan. Pasalnya, masalah kesehatan pada dasarnya muncul dari kesadaran pribadi yang rendah dalam menjaga lingkungan dan diri sendiri.

Hendrick L. Blumm dalam bukunya The Enviromental of Health menyatakan ada empat faktor yang memengaruhi derajat kesehatan, yaitu: Lingkungan, Perilaku, Pelayanan Kesehatan, dan Keturunan. Mari kita bahas keempat faktor tersebut melalui sudut pandang rakyat terhadap pemerintah sang pembuat kebijakan). Pertama, lingkungan, tentu saja menjadi faktor yang penting dalam mempengaruhi derajat kesehatan. Lingkungan yang baik akan mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat di suatu wilayah. Dalam hal ini, pengaturan kebijakan pemerintah dalam pemeliharaan lingkungan juga akan berpengaruh pada derajat kesehatan masyarakat. Munculnya mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) di sekolah-sekolah merupakan salah satu upaya pemerintah dalam membangun paradigma hidup sehat di kalangan masyarakat. Ini patut kita apresiasi, bahwa pemerintah memiliki itikad baik untuk membangun paradigma Indonesia Sadar Sehat.

Kedua, perilaku manusia yang memiliki kecenderungan untuk berbuat kerusakan terhadap lingkungan dapat menjadi biang keladi turunnya derajat kesehatan masyarakat. Pemerintah, selain membuat kebijakan untuk mengurangi hingga meniadakan perilaku buruk tersebut, seyogianya dapat juga memberikan teladan. Toh orang-orang yang duduk mewakili rakyat di sana katanya berpendidikan. Seharusnya mudah bagi mereka untuk memberikan contoh yang baik dalam hal berperilaku baik kepada seluruh rakyat Indonesia. Tidak berperilaku “kotor” dengan melanggar aturan agama serta norma-norma kejujuran melalui tindakan korupsi. Karena kesehatan bukan hanya tentang kesehatan fisik, tetapi juga spiritual dan sosial.
 
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. (UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan)

Ketiga, pelayanan kesehatan yang baik dan memadai akan mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dengan pelayanan kesehatan yang baik, selain etos kerja yang lebih profesional, dituntut juga sikap ramah dan dorongan motivasi dari para tenaga kesehatan agar membantu kesembuhan pasien. Karena dalam kesehatan, sugesti juga dapat berpengaruh meskipun mungkin efeknya tidak dapat dikuantifikasi. Di sinilah peran sentral dari pemerintah, khususnya Kementrian Kesehatan untuk mampu mengatur kebijakan agar setiap sarana kesehatan seperti rumah sakit, balai pengobatan, dan apotek dapat memberikan pelayanan secara optimal.

Keempat, keturunan, memang mungkin bukan faktor utama yang mempengaruhi derajat kesehatan, tetapi terkadang masalah kesehatan yang timbul akibat faktor keturunan ini menjadi sangat krusial. Peran pemerintah di sini adalah mampu memberikan perlakuan khusus dan terbaik karena kasus keturunan ini bisa dikatakan prevalensinya lebih sedikit dari masalah kesehatan lainnya. Maka dari itu bisa dibentuk kebijakan khusus yang mengatur masalah tersebut.

Itulah upaya-upaya yang kiranya dapat pemerintah lakukan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pembangunan paradigma hidup sehat dalam diri setiap masyarakat Indonesia. Masih banyak upaya lain yang dapat pemerintah lakukan, dan tentu saja para praktisi dan akademisi kesehatan memegang peranan penting sebagai pelaksana teknis dari kebijakan yang dibuat pemerintah nantinya. Semoga di masa yang akan datang Indonesia mampu menunjukkan, bahwa pemerintah dan masyarakat mampu bersinergi membangun Indonesia sehat melalui kesadaran dari semua pihak.
Menggugat Paradigma Sehat
PARADIGMA sehat merupakan cara pandang atau pola pikir yang mengutamakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan (aspek promotif) serta pencegahan penyakit (aspek preventif).

Paradigma sehat bukan berarti tidak adanya penyakit atau orang sakit, melainkan bagaimana yang sehat dijaga dan ditingkatkan kesehatannya, dicegah agar tidak sakit, serta yang sakit mendapat penanganan optimal supaya sehat. Dengan demikian, paradigma sehat juga tidak mengesampingkan aspek pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif).

Sebenarnya, paradigma sehat bukanlah hal baru dalam dunia kesehatan di negara kita. Sejak 1974 konsep ini sudah disampaikan. Namun secara formal menjadi orientasi baru Depkes (sekarang Kemenkes) ketika Menkes saat itu, Prof Dr Farid Anfasa Moeloek, SpOG(K) menyampaikan konsep ini pada forum raker Komisi VI DPR, 15 September 1998. Kemudian Maret 1999, Presiden BJ Habibie secara resmi mencanangkan paradigma sehat dengan tajuk pembangunan berwawasan kesehatan.

Mengapa paradigma sehat? Ada beberapa poin alasan sehingga perlu menjadikan paradigma sehat sebagai orientasi utama pembangunan kesehatan. Pertama; pelayanan kesehatan yang berfokus pada pengobatan orang sakit ternyata tidak efektif. Munculnya suatu penyakit tentu ada latar belakang penyebab dan faktor-faktor risiko yang menjadi pemicu atau pencetusnya. Menurut konsep HL Blum, timbulnya penyakit dipengaruhi tiga faktor, host (inang), agent (perantara), dan environment (lingkungan).

Ketika kita hanya mengobati tanpa memperhatikan aspek pencegahan dan pengendalian faktor risikonya maka dengan gampang penyakit serupa akan timbul lagi di kemudian hari. Dengan kata lain permasalahan di hilir akan terus timbul tanpa kita mengantisipasi penyebab di hulu.

Kedua; adanya transisi epidemiologi dari penyakit infeksi ke penyakit kronik degeneratif, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung, kanker, leukemia, alergi, osteoporosis, osteoarthritis, arthritis rheumatoid, parkinson, dan sebagainya. Pengobatan penyakit-penyakit tersebut tidak mudah dan memerlukan waktu lama. Upaya paling efektif adalah pencegahan dan menghindari faktor risikonya.

Ketiga; adanya transisi demografi yaitu meningkatnya lansia, yang memerlukan penanganan khusus. Proses menua, adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya.

Keempat; konsep sehat mengalami perubahan yaitu dalam pengertian sehat menurut WHO juga mencakup produktif secara sosial dan ekonomi, tidak cukup sehat jasmani dan rohani. Akibatnya  upaya kuratif dan rehabilitatif tidak memadai untuk mencapai sehat sesuai definisi WHO, tanpa upaya promotif dan preventif secara komprehensif untuk menjadi produktif.

Sumber PAD

Adanya paradigma sehat adalah tanggung jawab kita bersama dalam mengimplementasikannya, baik pemerintah, tenaga dan fasilitas kesehatan, maupun masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Kemenkes dan DPR, berperan dalam menentukan alokasi anggaran. Kita ambil contoh bagaimana anggaran program jamkesmas dan jampersal yang berorientasi upaya kuratif, serta program bantuan operasional kesehatan (BOK) yang lebih ditujukan untuk upaya promotif dan preventif.

Anggaran jamkesmas tahun 2011 Rp 5,6 triliun dan 2012 naik menjadi Rp 7,8 triliun. Total anggaran BOK 2011 Rp 904,25 miliar. Dapat kita bandingkan, ketika anggaran untuk upaya promotif dan preventif masih jauh lebih kecil daripada upaya kuratif, maka paradigma sehat belum benar-benar menjadi komitmen para pengambil kebijakan itu sendiri.

Sementara itu, sebagian besar pemerintah daerah di negeri ini masih menjadikan pelayanan kesehatan (puskesmas dan RS) sebagai sumber PAD. Lebih spesifik lagi, pelayanan kesehatan ditarget untuk mencapai pendapatan tertentu. Padahal kalau kita analogikan dengan paradigma sehat tadi, salah satu indikator keberhasilan pembangunan kesehatan adalah makin banyak orang sehat atau sedikit orang sakit.

Semoga ”Indonesia Cinta Sehat”, tema yang diangkat pada peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) Ke-47 tanggal 12 Nopember 2011 ini, benar-benar mencerminkan bahwa bangsa Indonesia mencintai kesehatan, mau dan mampu berperilaku sehat, menjaga lingkungan agar tetap sehat, serta mengupayakan agar masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, dan merata. (10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar