Minggu, 22 Desember 2013

Mengaitkan Standar Praktek dengan Aspek Hukum dalam Praktek Kebidanan


Mengaitkan Standar Praktek dengan Aspek Hukum dalam Praktek Kebidanan










DISUSUN OLEH:
                                Kelas   : 1A
                                Nama  : Dwi Nugraheni



STIKES MUHAMMADIYAH GOMBONG
PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN
2013

Hubungan Standar Praktek Kebidanan (SPK) Dengan Hukum / Perundang- Undangan
·         ASUHAN PADA BAYI BARU LAHIR
Kompetensi ke-6 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi baru lahir sehat sampai dengan 1 bulan.
·         ASUHAN PADA BAYI DAN BALITA
Kompetensi ke-7 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi, komperhensif pada bayi dan balita sehat (1 bulan – 5 tahun).
·         KEBIDANAN KOMUNITAS
Kompetensi ke-8 : Bidan memberikan asuhan yang bermutu tinggi dan komperhensif pada keluarga, kelompok dan masyarakat sesuai dengan budaya setempat.
·         ASUHAN PADA IBU/WANITA DENGAN GANGGUAN REPRODUKSI
Kompetensi ke-9 : Melaksanakan asuhan kebidanan pada wanita/ibu dengan gangguan sistem reproduksi.
UU KESEHATAN NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG TUGAS DAN TANGUNG JAWAB TENAGA KESEHATAN

PASAL 4-8 N0 36/2009
HAK SETIAP ORANG :
• Kesehatan
• Akses atas sumber daya
• Pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau
• Menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan
• Lingkungan yang sehat
• Informasi dan edukasi kesehatan yang seimbang & bertanggung jawab.
• Informasi tentang data kesehatan dirinya
PASAL 9-13 NO 36/2009
KEWAJIBAN SETIAP ORANG :
• Ikut mewujudkan kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
• Menghormati hak orang lain
• Berperilaku hidup sehat
• Menjaga kesehatan orang lain yang menjadi tanggungjawabnya
• Ikut jaminan kesehatan
PASAL 21-29 NO 36/2009
TENAGA KESEHATAN :
• Harus memiliki kualifikasi umum.
• Harus memiliki kewenangan yang sesuai dengan keahlian, memiliki izin
• Harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, SOP
• Pemerintah mengatur penempatan untuk pemerataan
• Untuk kepentingan hukum ; wajib periksa kesehatan dengan biaya ditanggung negara
• Dalam hal diduga kelalaian, selesaikan dengan mediasi terlebih dahulu
PASAL 30-35 NO 36/2009
PASILITAS PELAYANAN KESEHATAN
• Harus memenuhi persyaratan dan perizinan
• Dalam menghadapi pasien darurat, wajib selamatkan nyawa dan cegah cacat, dilarang menolak pasien atau meminta uang muka lebih dahulu
• Pimpinan harus memiliki kompetensi
• Pemda menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan dan berikan izin
• Diatur dengan PP
PASAL 58 UU NO 36/2009
GANTI RUGI AKIBAT KESALAHAN :
1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan yang diterimanya.
2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
PASAL 64 UU NO 36/2009
UPAYA PEMULIHAN TERTENTU :
1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui tranplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta sel punca
2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan
3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
PASAL 66 UU NO 36/2009
Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.
PASAL 69 UU NO 36/2009
(2) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas
PASAL 70 UU N0 36/2009
(1) Pengguna sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.
(2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik
PASAL 72 UU NO 36/2009
REPRODUKSI :
Setiap orang berhak :
• Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah
• Menetukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia dengan norma agama
• Menetukan sendiri kapan dan berapa sering ingin reproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama
• Memperoleh informasi, edukasi, ….dst
PASAL 72 UU NO 36/2009
ABORSI :
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi
2) Larangan yang dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan :
• Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik serta dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan, atau…
• Kehamilan akibat perkosaan yg dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan
3) Tindakan sebagimana yang dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang
PASAL 82 UU NO 36/2009
BENCANA :
1) Pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.
2) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan pasca bencana.
3) Pelayanan kesehatan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut
4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaiman dimaksud pada ayat 1
PASAL 83 UU N0 36/2009
1) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut dan kepentingan terbaik bagi pasien.
2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaikan dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
PASAL 85 UU NO 36/2009
DARURAT PADA BENCANA
1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan , baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.
PASAL 90 UU NO 36/2009
PELAYANAN DARAH
1) Pemerintah bertanggun jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelanggaraan pelayanan darah.
3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun
PASAL 115 UU N0 36/2009
KAWASAN TANPA ROKOK (KTR)
- Anatar lain :
• Fasilitas pelayanan kesehatan
• Tempat proses belajar mengajar
• Tempat anak bermain
• Tempat ibadah
• Angkutan umum
• Tempat kerja, dan
• Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan
- Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya
PASAL 117 UU N0 36/2009
DEFENISI MATI :
- Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung-sirulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan
PASAL 118 UU NO 36/2009
IDENTIFIKASI
- Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi.
- Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung-jawab atas upaya identifikasi sebagaiman dimasud pd ayat (1)
PASAL 122 UU NO 36/2009
BEDAH MAYAT FORENSIK
1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Bedah mayat forensik sebagaiman diamksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkingkan
PASAL 125 UU NO 36/2009
Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD
PASAL 127 UU NO 36/2009
KEHAMILAN CARA NON ALAMI
Upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :
• Hasil pembuahan sperma dan ovun dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovun berasal
• Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan
• Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu
PASAL 128 UU NO 36/2009
ASI EKSKLUSIF :
1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
2) Selama pemberian Air Susu Ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus
3) Penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di-adakan ditempat kerja dan tempat sarana umum
PASAL 148 UU N0 36/2009
KESEHATAN JIWA
• Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara
• Hak sebagaiman dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain
PASAL 149 UU N0 36/2009
1) Penderita gangguan jiwa yg terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
2) Pemerintah, pemerintah daerah, & masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.
3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat
4) Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sebagaiman dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
PASAL 150 UU NO 36/2009
1) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakkan hukum (visum et refertum psiciatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan
2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.
PASAL 171 UU NO 36/2009
ANGGARAN :
1) Besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) diluar gaji.
2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kotadalokasikan minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) diluar gaji
3) Bersaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (duapertiga) dari anggaran kesehatan dalam APBN dan APBD
PERATURAN PELAKSANAAN
• 2 UU
• 20 PERATURAN PEMERINTAH
• 2 PERATURAN PRESIDEN
• 18 PERATURAN MENKES

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1996
TENTANG TENAGA KESEHATAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang
:
Bahwa  sebagai  pelaksanaan  ketentuan  Undang-Undang  Nomor  23
Tahun   1992   tentang   Kesehatan,   dipandang   perlu   menetapkan
Peraturan Pemerintah  tentang Tenaga Kesehatan;

Mengingat

:

1.

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


                        2.

Undang-Undang  Nomor   23   Tahun   1992   tentang   Kesehatan
(Lembaran Negara Tanun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3495);

M E M U T U S K A N :
Menetapkan    :    PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TENAGA KESEHATAN.
B A B  I KETENTUAN  UMUM
Pasal  1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yanlg mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan;
2. Sarana kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan;
3. Upaya  kesehatan  adalah  setiap  kegiatan  untuk  memelihara  dan  meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat;
 4. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

BAB II
JENIS TENAGA KESEHATAN Pasal 2
(1)  Tenaga kesehatan terdiri dari :
a.   tenaga medis;
b.   tenaga keperawatan;
c.   tenaga kefarmasian;
d.   tenaga kesehatan masyarakat;
e.   tenaga gizi;
f.    tenaga keterapian fisik;
g.   tenaga keteknisian medis.
(2)  Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.
(3)  Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.
(4)  Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
        (5) Tenaga kesehatan masyarakat  meliputi  epidemiolog  kesehatan,  entomolog kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
(6)  Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.
(7)  Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.
        (8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis.

B A B  III PERSYARATAN
Pasal 3
Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.
Pasal  4
        (1) Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga kesehatan yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri.
        (2)  Dikecualikan dari pemilikan ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi tenaga kesehatan masyarakat.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur oleh Menteri.
Pasal 5
        (1)  Selain  ijin  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  4  ayat  (1),  tenaga  medis  dan tenaga kefarmasian lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah yang bersangkutan melakukan adaptasi.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai adaptasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diatur oleh Menteri.
BAB IV
PERENCANAAN, PENGADAAN DAN PENEMPATAN Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 6
         (1)      Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat
         (2)      Pengadaan  dan  penempatan  tenaga  kesehatan  dilaksanakan  sesuai  dengan perencanaan nasional tenaga kesehatan.
         (3)   Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan faktor :
a.  jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
b.  sarana kesehatan;
      c.  jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan.
(4)   Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dan ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pengadaan
Pasal 7
Pengadaan tenaga kesehatan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan.
Pasal 8
         (1)      Pendidikan  di  bidang  kesehatan  dilaksanakan  di  lembaga  pendidikan  yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau masyarakat.
(2)        Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ijin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Pasal 9
         (1)      Pelatihan dibidang kesehatan diarahkan untuk   meningkatkan keterampilan atau penguasaan pengetahuan di bidang teknis kesehatan.
         (2)      Pelatihan di bidang kesehatan dapat dilakukan secara berjenjang sesuai dengan jenis tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Pasal 10
         (1)      Setiap  tenaga  kesehatan  memiliki  kesempatan  yang  sama  untuk  mengikuti pelatihan di bidang kesehatan sesuai dengan bidang tugasnya.
         (2)      Penyelenggara  dan/atau  pimpinan  sarana  kesehatan  bertanggung  jawab  atas pemberian kesempatan kepada tenaga kesehatan yang ditempatkan dan/atau bekerja           pada   sarana   kesehatan   yang   bersangkutan   untuk   meningkatkan keterampilan atau pengetahuan melalui pelatihan di bidang kesehatan.
Pasal 11
         (1)      Pelatihan di bidang kesehatan dilaksanakan di balai pelatihan tenaga kesehatan atau tempat pelatihan lainnya.
         (2)      Pelatihan di bidang kesehatan dapat diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
Pasal 12
         (1)      Pelatihan   di   bidang   kesehatan   yang   diselenggarakan   oleh   Pemerintah dilaksanakan dengan  memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)        Pelatihan   di   bidang   kesehatan   yang   diselenggarakan   oleh   masyarakat dilaksanakan  atas dasar ijin Menteri
(3)  Ketentuan lebih lanjut  mengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
diatur oleh Menteri.
Pasal 13
(1)   Pelatihan di bidang kesehatan wajib memenuhi persyaratan tersedianya :
a.  calon peserta  pelatihan;
b.  tenaga kepelatihan;
c.  kurikulum;
      d.  sumber  dana  yang  tetap  untuk  menjamin  kelangsungan  penyelenggaraan pelatihan;
e.  sarana dan prasarana.
(2) Kelentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pelatihan di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 14
         (1)      Menteri dapat menghentikan pelatihan apabila pelaksanaan pelatihan di bidang kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat ternyata :
        a.tidak sesuai dengan arah pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b.   tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
         (2)      Penghentian pelatihan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dimaksud dalam ayat 1 dapat mengakibatkan dicabutnya ijin pelatihan.
        (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian pelatihan dan pencabutan ijin pelatihan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Penempatan
Pasal 15
         (1)      Dalam  rangka  pemerataan  pelayanan  kesehatan  bagi  seluruh  masyarakat, Pemerintah dapat mewajibkan tenaga kesehatan untuk ditempatkan pada sarana kesehatan tertentu untuk jangka  waktu  tertentu.
         (2)      Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan cara masa bakti.
         (3)      Pelaksanaan penempatan tenaga kesehatan dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 16
Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2).
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung  jawab Menteri.
Pasal 17
Penempatan  tenaga  kesehatan   dengan   cara  masa   bakti   dilaksanakan   dengan memperhatikan :
a.  kondisi wilayah dimana tenaga kesehatan yang bersangkutan ditempatkan;
b.  lamanya penempatan;
c.  jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
d.  prioritas sarana kesehatan.
Pasal 18
(1)   Penempatan tenaga kesehatan dengan cara masa bakti dilaksanakan pada :
a.  sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah;
b.  sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang ditunjuk oleh
Pemerintah;
c.  lingkungan perguruan tinggi sebagai staf pengajar;
d.  lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
         (2)      Pelaksanaan ketentuan huruf c dan huruf d sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri setelah mendengar pertimbangan dari pimpinan instansi terkait.
Pasal 19
         (1)      Tenaga   kesehatan   yang   telah   melaksanakan   masa   bakti   diberikan   surat keterangan dari Menteri
         (2)      Surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan persyaratan bagi tenaga   kesehatan   untuk   memperoleh   ijin   menyelenggarakan   upaya kesehatan pada sarana kesehatan
         (3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  pemberian  surat  keterangan  sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) diatur oleh Menteri
Pasal  20
Status tenaga kesehatan dalam penempatan tenaga kesehatan dapat berupa :
a.  pegawai negeri; atau b.  pegawai tidak tetap.
B A B  V
STANDAR PROFESI DAN PERLINDUNGAN HUKUM Bagian Kesatu
Standar Profesi
Pasal  21
        (1)  Setiap   tenaga   kesehatan   dalam   melakukan   tugasnya   berkewajiban   untuk mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.
(2)   Standar  profesi  tenaga  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 22
         (1)      Bagi  tenaga  kesehatan  jenis  tertentu  dalam  melaksanakan  tugas  profesinya berkewajiban untuk :
a.  menghormati hak pasien;
b.  menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;
      c.  memberikan infomasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan;
d   meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;
e.  membuat dan memelihara rekam medis. ,
        (2)  Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
Pasal 23
         (1)      Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat, atau kematian yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian.
         (2)      Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.




Bagian Kedua
Perlindungan Hukum
Pasal 24
(1)               Perlindungan   hukum   diberikan   kepada   tenaga   kesehatan   yang   melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.
(2)               Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
B A B  VI PENGHARGAAN
Pasal 25
         (1)      Kepada  tenaga  kesehatan  yang  bertugas  pada  sarana  kesehatan  atas  dasar prestasi kerja, pengabdian, kesetiaan, berjasa pada Negara atau meninggal dunia dalam melaksanakan tugas diberikan penghargaan
         (2)   Penghargaan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  dapat  diberikan  oleh
Pemerintah dan/atau masyarakat.
         (3)      Bentuk  penghargaan  dapat  berupa  kenaikan  pangkat,  tanda  jasa,  uang  atau bentuk lain.
BAB VII IKATAN PROFESI
Pasal 26
         (1)      Tenaga  kesehatan  dapat  membentuk  ikatan  profesi  sebagai  wadah  untuk rneningkatkan   dan/atau   rnengembangkan   pengetahuan   dan   keterampilan, martabat dan kesejahteraan tenaga kesehatan.
         (2)      Pembentukan ikatan profesi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
TENAGA KESEHATAN WARGA NEGARA ASING Pasal 27
         (1)      Tenaga kesehatan warga negara asing hanya dapat melakukan upaya kesehatan atas dasar ijin dari Menteri.
         (2)      Ketentuan lebih lanjut rnengenai perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku di bidang tenaga kerja asing.
B A B  IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian  Kesatu Pembinaan
            Pasal 28
         (1)      Pembinaan tenaga kesehatan diarahkan untuk meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan.
(2)        Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pembinaan karier, disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan.
Pasal 29
         (1)      Pembinaan  karier  tenaga  kesehatan  meliputi  kenaikan  pangkat,  jabatan  dan pemberian penghargaan.
         (2)      Pembinaan  karier  tenaga  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 30
         (1)      Pembinaan  disiplin  tenaga  kesehatan  menjadi  tanggung  jawab  penyelenggara dan/atau pimpinan sarana kesehatan yang bersangkutan.
         (2)      Pembinaan  disiplin  tenaga  kesehatan  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 31
(1)   Menteri melakukan pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan.
(2)   Pembinaan teknis profesi tenaga kesehatan sebagairnana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan rnelalui :
a.  bimbingan;
b.  pelatihan di bidang kesehatan;
c.  penetapan standar profesi tenaga kesehatan.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 32
Menteri  melakukan  pengawasan  terhadap  tenaga  kesehatan  dalarn  melaksanakan tugas profesinya.
Pasal 33
(1)  Dalarn rangka pengawasan, Menteri dapat rnengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan.
(2) Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:
a. teguran;
b. pencabutan ijin untuk melakukan upaya kesehatan.
       (3) Pcngambilan tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan  yang berlaku.
B A B X KETENTU AN PIDANA
Pasal 34
Barang siapa dengan sengaja menyelenggarakan pelatihan di bidang kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992  tentang  Kesehatan.
Pasal 35
Berdasarkan  ketentuan  Pasal  86  Undang-Undang  Nomor  23  Tahun  1992  tentang
Kesehatan, barang  siapa dengan sengaja :
a.  melakukan upaya kesehatan tanpa ijin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1
      b. melakukan upaya kesehatan tanpa melakukan adaptasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
      c.  melakukan upaya kesehatan tidak sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
d.  tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1);
dipidana denda paling banyak  Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
BAB XI KETENTUAN  PENUTUP
Pasal 36
Dengan  berlakunya  Peraturan  Pemerintah  ini,  maka  semua  ketentuan  peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada
masih tetap berlaku sepanjang  tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 37
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada  tanggal  diundangkan. Agar   setiap   orang   mengetahuinya,   memerintahkan   pengundangan   Peraturan. Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,

P E N J E L A S A N ATAS
PERATURAN PEMERINTAH  REPUBLIK INDONESIA NOMOR  32  TAHUN 1996
TENTANG TENAGA KESEHATAN
UMUM
            Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari Pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah penyelenggaraan  upaya kesehatan  untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang besar artinya bagi pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia sebagai modal Pembangunan Nasional. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan   kesejahteraan   keluarga   dan   masyarakat   dengan   menanamkan kebiasaan hidup sehat.
            Untuk rnewujudkan hal tersebut di atas diselenggarakan berbagai upaya kesehatan yang didukung antara lain oleh sumber daya tenaga kesehatan yang memadai sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pembangunan kesehatan. Oleh karena itu pola pengembangan sumber  daya  tenaga  kesehatan  perlu  disusun  secara  cermat  yang meliputi perencanaan, pengadaan dan  penempatan tenaga kesehatan yang berskala nasional.
            Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan secara nasional disesuaikan dengan masalah kesehatan, kemampuan daya serap dan kebutuhan pengembangan program pembangunan kesehatan. Pengadaan tenaga kesehatan sesuai dengan perencanaan kebutuhan tersebut diselenggarakan rnelalui pendidikan dan pelatihan baik oleh Pemerintah dan/atau oleh masyarakat termasuk swasta sedangkan pendayagunaannya diselenggarakan secara efektif dan merata.
            Dalam rangka penempatan terhadap jenis tenaga kesehatan tertentu ditetapkan kebijaksanaan melalui pelaksanaan masa bakti terutama bagi tenaga kesehatan yang sangat potensial di dalam kebutuhan penyelenggaraan upaya kesehatan.
            Disamping  itu  tenaga  kesehatan  tertentu  yang  bertugas  sebagai  pelaksana  atau pemberi pelayanan kesehatan diberi wewenang sesuai  dengan kompetensi pendidikan yang diperolehnya, sehingga terkait erat dengan hak dan kewajibarmya. Kompetensi dan kewenangan   tersebut   menunjukan kemampuan profesional yang baku dan merupakan standar profesi untuk tenaga kesehatan tersebut. Tenaga kesehatan yang melaksanakan   tugas   sesuai   dengan   standar   profesinya   akan   mendapatkan perlindungan   hukum.   Terhadap   jenis   tenaga   kesehatan   tersebut   di   dalam melaksanakan tugas profesinya tetap diperlukan ijin.
            Tenaga kesehatan sebagai pendukung upaya kesehatan dalam menjalankan tugasnya harus selalu dibina dan diawasi. Pembinaan dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuannya, sehingga selalu tanggap terhadap permasalahan kesehatan yang menjadi   tanggung jawabnya. Sedangkan pengawasan dilakukan terhadap kegiatannya agar tenaga kesehatan tersebut dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kcbijaksanaan peraturan perundang-undangan dan sistem yang telah ditetapkan. Setiap penyimpangan pelaksanaan tugas oleh tenaga kesehatan mengakibatkan konsekuensi dalam bentuk  sanksi.

Peraturan Ketenagakerjaan
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
I
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN
1

II
PELATIHAN KERJA
1
PP No 23 Tahun 2004 - Badan Nasional Sertifikasi Profesi
2
Perpres No 50 Tahun 2005 tentang Lembaga Produktivitas Nasional
[ Pelaksanaan Psl 30 (3) UU No 13 Tahun 2003 ]

III
PENEMPATAN TENAGA KERJA
1
UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

IV
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

V
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
1
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
2
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-172/MEN/2000 tentang Penunjukan Pejabat Pemberi Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang untuk Pekerjaan yang Bersifat Sementara atau Mendesak
3
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
4
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing

VI
HUBUNGAN KERJA

VII
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN KESEJAHTERAAN

VIII
HUBUNGAN INDUSTRIAL
1
PP No 46 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP No 8 Tahun 2005 tentang Tata Kerja dan Susunan Organisasi Lembaga Kerja Sama Tripartit
[ Pelaksanaan Psl 107 (4) UU No 13 Tahun 2003 ]
2
Keputusan Menakertrans No:KEP-201/MEN/2001 tentang Keterwakilan dalam Kelembagaan Hubungan Industrial
3
Keputusan Menakertrans No:KEP-48/MEN/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama

IX
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
1
UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
2
PP No 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial dan Hakim Ad-Hoc Pada Mahkamah Agung

PP / UU TENTANG ASPEK HUKUM ABORSI, BAYI TABUNG DAN ADOPSI

Aborsi
1. KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349
Pasal 229: Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang perempuan atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
Pasal 346: Seorang perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun.
(2)  Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama limabelas tahun.
Pasal 348:
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut, diancam dengan pidana penjara tujuh tahun.
Pasal 349: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 535 : Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangn atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
a. Pasal 15 ayat 1 dan 2
1)    Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan  jiwa ibu hamil atau janinnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
2)    Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggungjawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya.
Pada sarana kesehatan tertentu.
Pada penjelasan UU Kesehatan pasal 15 dinyatakan sebagai berikut:
Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang, karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu.
Butir a: Indikasi medis adalah suatu kondisi yang benar-benar mengharuskan diambil tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu ibu hamil dan janinnya terancam bahaya maut.
Butir b: Tenaga kesehatan yang dapat melakukan tindakan medis tertentu adalah tenaga yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya, yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan.
Butir c: Hak utama untuk memberikan persetujuan (informed consent) ada pada ibu hamil yang bersangkutan, kecuali dalam keadaan tidak sadar atau tidak dapat memberikan persetujuannya, dapat diminta dari suami atau keluarganya.
Butir d: Sarana kesehatan tertentu adalah sarana kesehatan yang memiliki tenaga dan peralatan yang memadai untuk tindakan tersebut dan telah ditunjuk pemerintah.
Didalam UU Kesehatan ini belum disinggung soal masalah kehamilan akibat perkosaan, akibat hubungan seks komersial yang menimpa pekerja seks komersial ataupun kehamilan yang diketahui bahwa janin yang dikandung tersebut mempunyai cacat bawaan yang berat.
Dalam peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari pasal ini dijabarkan antara lain mengenai keadaan darurat dalam menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan bentuk persetujuan, sarana kesehatan yang ditunjuk.
b. Pasal 80
Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3. UU HAM, pasal 53 ayat 1
Setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.
4. UU Penghapusan KDRT
Pasal 10 mengenai hak-hak korban pada butir (b): Korban berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
Di sini dicoba disimpulkan sesuatu dan mempunyai persepsi dari pernyataan butir-butir pasal UU KDRT sebelumnya yang saling berkaitan:
Pasal 2(a): Lingkup rumah tangga ini meliputi: Suami, isteri, anak.
Pasal 5: Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumahtangganya dengan cara:
Kekerasan fisik
Kekerasan psikis
Kekerasan seksual
Penelantaran rumah tangga
Pasal 8(a): Kekerasan seksual meliputi:
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.
Bayi Tabung
Jika benihnya berasal dari Suami Istri.
            Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut. Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH Perdata.
            Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami, maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata. Dalam hal ini Suami dari Istri penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata.)
Jika salah satu benihnya berasal dari donor
            Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal 250 KUH Perdata.
            Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
Jika semua benihnya dari donor
            Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai anaknya.
Adopsi
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan adopsi :
1. Pihak yang mengajukan adopsi
Pasangan Suami Istri
            Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/ pengangkatan anak.  Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
Orang tua tunggal
i.    Staatblaad 1917 No. 129
            Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
            Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan.
ii.    Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
            Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.
2. Tata cara mengadopsi
            Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
            Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
3. Isi permohonan
Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:
motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut.
penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.
Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, juga harus membawa dua orang saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi pemohon (baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa pemohon akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.
4. Yang dilarang dalam permohonan
Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan anak, yaitu:
            Menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak.
pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.
Hal ini disebabkan karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja.
            Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan permohonan, maka pemohon perlu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan keyakinan kepada majelis hakim tentang kemampuan pemohon dan kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.
5. Pencatatan di kantor Catatan Sipil
Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.
6. Akibat hukum pengangkatan anak
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
i. Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
ii. Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991)
iii. Peraturan Per-Undang-undangan
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.